KENAMPAKAN GEOLOGI LAPISAN BATUBARA
Perkembangan kenampakan geologi di sekitar lapisan batubara
disebabkan oleh proses-proses yang terjadi pada lapisan gambut, sifat fisika
dan kimia lapisan batubara itu sendiri serta material bukan batubara yang berbeda-beda.
Macam-macam kenampakan geologi pada lapisan batubara, antara lain :
1. Plies, bands dan partings
Lapisan batubara bisa terdiri dari batubara dengan tipe
berbeda, atau terdiri dari material bukan batubara yang beraneka ragam.
Kehadiran lapisan batubara ini dapat digunakan untuk membagi lapisan batubara
kedalam satuan yang lebih kecil disebut “ benches, atau plies”.
Lapisan bukan batubara disebut ”bands”, atau “partings”. Istilah seperti “clay
bands” atau dirt bands” kadang digunakan untuk menggambarkan material dari
suatu litologi. Ada juga istilah “penny bands” untuk mengindikasikan ketebalan.
Litologi dari beberapa bands menurut istilah Jerman disebut tonstein (secara
kepustakaan disebut claystone) atau istilah Amerika disebut “flint clay” paling
umum digunakan dimana material memiliki tekstur peletoidal atau menunjukkan
pecahan konkoidal dan didominasi oleh mineral kaolin yang mengkristal dengan
baik. Penegertian parting digunakan di lapangan geologi batubara menjadi 2
macam :
1.
Sebagai sinonim band, yaitu lapisan bukan batubara yang
memisahkan lapisan batubara yang satu dengan yang lain secara relatif.
2.
Untuk menjelaskan bidang sejajar sepanjang satu lapisan,
baik itu lapisan batubara atau lapisan bukan batubara secara fisik dengan
mudah.
Perbedaan pengertian ini penting dijelaskan dalam kegiatan
persiapan penambangan seperti adanya lapisan batubara yang bercabang akan
mempengaruhi penggalian atau penambangannya. Istilah “plane of parting” mungkin cocok untuk menggambarkan suatu bidang
yang tidak menerus akibat gangguan sesar atau splitting.
“Bands” merupakan lapisan yang terdiri dari material yang bukan batubara,
terjadi karena suplai akumulasi sedimen klastik telah melebihi akumulasi
gambut. Sedimen klastik ini mungkin menunjukkan endapan over bank atau dataran
banjir yang berasal dari sungai yang terdekat atau dari debu vulkanik yang
berasal dari sumber di luar lingkungan rawa. Ini mungkin juga dibentuk oleh
mineral residu gambut yang teroksidasi, seperti yang terjadi akibat pengeringan
rawa selama waktu terbentuknya batubara.
“Plies” merupakan kumpulan dari maseral yang berbeda atau berasal dari bermacam
sifat dasar tumbuhan rawa atau lingkungan pengendapannya selama pembentukan
batubara. Plies atau bands bukan batubara tidak selalu membentuk lapisan yang
seragam dan tetap, khususnya jika mencakup daerah yang luas.
Penentuan pola ply yang baik dapat memberikan keuntungan
yang besar dalam menjelaskan arah kualitas batubara di dalam operasi
penambangan. Tentunya membutuhkan sejumlah besar data bawah permukaan atau data
bor, data petrografi batubara yang dapat untuk menunjang sejumlah analisis “ply
by ply”.
2. Splits dalam lapisan batubara
Kemenerusan lateral lapisan batubara di lapangan sering
terbelah pada jarak yang relatif dekat oleh sedimen bukan batubara yang membaji
kemudian membentuk dua lapisan batubara yang terpisah dan disebut
autosedimentational split. Macam-macam bentuk spilt :
a.
Simple splitting, adalah split sederhana yang terjadi
akibat kehadiran tubuh lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.
b.
Proggresif splitting, bila terdiri dari beberapa lensa,
maka splitting dapat berkembang secara terus menerus.
c.
Zig zag splitting, terjadi pada suatu lapisan batubara
yang terbelah dan kemudian bergabung dengan lapisan batubara lain.
Split sangat penting dalam geologi batubara.
Pemahaman yang baik tentang split dapat membantu dalam penentuan sebaran
lapisan batubara yang ekonomis, dan perhitungan cadangan. Bentuk split dengan
kemiringan 45o yang disertai oleh perubahan kekompakan pada batuan
akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan
kestabilan atap dalam penambangan bawah tanah.
3. Washout dan roof rolls
“Washout”
merupakan tubuh lentikuler sedimen, biasanya batupasir, yang menonjol ke bawah
dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara yang ada. Umumnya
memanjang atau berbelok-belok, dan menggambarkan struktur scour and fill
dibentuk oleh aktivitas channel berasosiasi dengan akumulasi gambut.
Ukuran washout bervariasi baik tebal maupun pelamparannya. Washout mungkin
dengan luas yang kecil, channel yang tidak beraturan pada atap lapisan,
biasanya disebut roof rolls sebagai akibat palechannel utama. Sebagian besar
struktur washout diisi oleh batupasir, meskipun kerikil batubara atau konglomeratt
kerikilan dapat juga hadir. Hal ini mencerminkan meander cut off dan
paleochannel.
Washout dan roof rolls merupakan masalah utama dalam operasi penambangan.
Ketebalan lapisan dan ketidakmenerusan lapisan batubara akibat terisi channel,
sehingga itu tentu memerlukan kebijaksanaan. Demikian juga dengan peralatan
yang digunakan untuk menggali batubara sering menemui kesulitan untuk menembus
material bukan batubara yang telah menggantikan posisi lapisan batubara,
terutama pada tambang bawah tanah. Struktur washout merupakan bagian mendasar
dalam penelitian geologi untuk kepentingan perencanaan penambangan dan
pengembangannya.
4. Floor rolls
Floor roll terdiri dari material batuan yang berupa
punggungan, panjang, sempit, dan subparalel, yang menonjol kedalam lapisan
batubara dari dasar lapisan. Seperti halnya roof
rolls, floor roll akan mangakibatkan ketebalan lapisan batubara berkurang. Floor roll sering diterangkan sebagai
intrusi lapisan ke dalam lapisan lain akibat pengembangan hidrasi and aktivitas
tektonik. Menurut Diessel dan Moelle (1970), roof roll dibentuk oleh kegiatan sungai selama tahap awal akumulasi
tanah gambut.
5. Clastic dyke dan Injection
Structures
“Clastic dyke”
merupakan tubuh membaji atau melembar dari material sedimentasi yang memotong
melintang lapisan batubara. Pada umumnya menunjukkan pengisian retakan-retakan
dalam gambut atau batubara oleh endapan sedimen diatasnya. Retakan ini dapat
berhubungan dengan kekar atau pergerakan sesar minor dan hal ini dapat menambah
masalah tentang kestabilan lapisan atap di dalam operasi penambangan bawah
tanah (Ellenberger, 1979; Krause et al 1979).
Meskipun kebanyakan struktur ini menyerupai endapan roof
roll, tampak beberapa pembebanan yang tidak menerus dari tanah gambut lunak
oleh material pasir. Lapisan-lapisan batubara melengkung akibat pembebanan,
sementara material pengisi yang biasanya terlipat dan terubah bentuknya
(Nelson, 1979 dalam Ward, 1984). Struktur ini umumnya menyertai sesar-sesar,
dan kekar-kekar, serta struktur ini pun menyebabkan ketidakstabilan pada
penambangan bawah tanah.
6. Cleat
Pengkekaran dalam batubara, khususnya batubara bituminous,
umumnya menunjukkan pola cleat. Hal ini ditunjukkan oleh serangkaian retakan
yang sejajar, biasanya berorientasi tegak lurus perlapisan. Satu rangkaian
retakan disebut “ face cleat”, biasanya dominan dengan bidang individu yang
lurus dan kokoh sepanjang beberapa meter.
Pola lainnya yang disebut “ butt cleat” , retakannya lebih
pendek, sering melengkung dan cenderung berakhir pada bidang face cleat.jarak
antar bidang cleat bervariasi dari 1 mm sampai sekitar 30 cm. Bidang cleat
sering diisi oleh unsur mineral atau karbonat, lempung, jenis sulfida, atau
sulfat dapat secara umum nampak pada permukaan batubara yang mengelupas.
Orientasi face cleat merupakan salah satu faktor penting di dalam pengontrolan
perencanaan penambangan bawah tanah. Demikian juga untuk operasi penambangan
yang menggunakan alat bajak atau hidrolik, maka arah penbambangan dan
hubungannya dengan pola cleat sangat mempengaruhi dalam kemudahan penggalian
batubara.
Jarak cleat juga berpengaruh terhadap ukuran partikel batubara yang dihasilkan,
apakah berupa fine coal atau lumpy coal. Hal ini penting dalam perencanaan
tambang karena berkait dengan aspek penumpukan, pengangkutan, pemanfaatan,
harga dan pemasaran. Pola cleat dapat juga dhubungkan dengan terjadinya ledakan
gas dalam tambang bawah tanah.
Terjadinya cleat pada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan pembawa
batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pula cleat dengan
struktur geologi suatu daerah. Face cleat tampaknya sangat umum sebagai hasil
dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan paleostress kompresif
maksimum suatu daerah ( Nickelsen & Hough 1967; Hanes & Shepherd 1981),
meskipun melibatkan faktor lain seperti
gangguan shear, tetapi dikatakan juga bahwa pembentukan butt cleat kurang
jelas, mungkin berkaitan dengan sejarah pembentukan batubara dan proses
pengendapan dari lapisan-lapisan yang bersangkutan.
Intrusi batuan beku
pada lapisan batubara
Karena material organik dalam batubara mengalami perubahan mendasar apabila
dipanaskan, adanya intrusi batuan beku memiliki pengaruh yang besar pada
lapisan batubara daripada yang dialami oleh batuan bukan batubara. Batubara
yang dekat dengan tubuh intrusi batuan beku, secara lokal meningkat derajatnya
sehubungan dengan meningkatan panas yang menyertainya. Intrusi batuan beku
biasanya berkembang menjadi komplek, dimana pada titik pertemuan antara tubuh
intrusi dengan lapisan batubara membentuk kontak yang meliuk. Hal ini
berhubungan dengan perilaku plastik dari bahan organik karena pemanasan serta
berkurangnya kandungan air didalam batubara.
“Cinder coal” (batubara terarangkan)
akibat intrusi, biasanya lemah, massanya porous dengan pola belahan hexagonal.
Dalam banyak hal cinder coal kurang mempunyai nilai ekonomi, dengan demikian
cinder menunjukkan hilangnya sebagian lapisan batubara yang dapat ditambang.
Dari sudut peningkatan derajat batuabara, mungkin lebih menguntungkan dari segi
ekonomi jika pengaruh cinder coal tidak terbentuk.
7. Batuan yang biasanya berasosiasi dengan lapisan batubara
Batuan yang sering ditemukan di dalam atau dekat dengan
lapisan batubara adalah batuan sedimen klastika halus seperti batulempung,
batulanau, serpih dan batupasir. Juga kaolin seperti “flint clay” dan
“underclay” material siliceous seperti chert dan gannister serta endapan
ferrigenous seperti mudstone siderit dan clay ironstone termasuk yang
berasosiasi dengan batubara. Beberapa material di atas hanya diminati secara
akademik, tetapi sekarang mulai diperhatikan karena mempunyai arti industri,
seperti underclay.
Struktur sedimen sangat membantu didalam interpretasi lingkungan pengendapan
dan yang banyak dijumpai berasosiasi dengan lapisan batubara adalah perlapisan
silangsiur, laminasi sejajar, laminasi bergelombang, laminasi karbonan
(carbonaceous laminae), coal strings, konkresi, dan cetak beban.
8. Batulempung kaolinit
Istilah batulempung kaolinit digunakan oleh Loughnan (1978)
untuk menggambarkan sebuah individu khusus dari batuan sedimen masif yang
terbentuk dari mineral lempung kaolin. Tekstur batuan ini bervariasi, berikut ini adalah tekstur
pokok dalam batulempung kaolinit :
1.
Breksiasi, materialnya terbentuk dari clast-clast
batulempung angular penecontemporaneous, dapat mencapai diameter sampai
beberapa cm.
2.
Pelletal, batuannya terbentuk dari partikel-partikel
batulempung yang bulat atau agrerat lempung, berukuran silt (kadang disebut
graupen) sampai partikel spheroidal yang berdiameter 10 mm atau lebih.
3.
Oolitik, terdiri dari oolitik spheroidal yang terlapisi
secara konsentris oleh material yang kaya kaolin.
4.
Masif, merupakan mudstone yang berkembang dengan baik,
terisi oleh kumpulan kristal kaolin yang ventikular dalam bagian yang tipis.
Batuan ini disebut juga “flint clay” (Keller, 1967) dan
“tonstein (Moore, 1964). Kaolin merupakan mineral yang melimpah dalam batuan ini,
biasanya terjadi dalam bentuk kristal dan berasosiasi dengan sejumlah kecil
kuarsa, siderit atau illit.
Variasi batuannya berwarna putih sampai coklat keabu-abuan
atau hitam tergantung dari bahan karbonan dan material ferrugenous yang mungkin
ada. Hal ini kadang digambarkan sebagai tuf.
Asal usul batulempung kaolinit telah lama menjadi topik yang kontroversial
dalam literatur ilmiah. Tinjauan komprehensif tentang terjadinya material
secara petrografi dan geokimia diberiakan oleh Keller (1968, 1981) dan Loughnan
(1978). Secara mekanik dijelaskan mengenai kekhususan mineral dan ciri-ciri
teksturnya dibandingkan dengan sedimen lain dalam sekuen dimana batuan tersebut
terbentuk, dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu :
1.
Autochthonous Origin
Meliputi pembentukan insitu dari kaolin dalam rawa batubara
atau lingkungan lain yang serupa karena perubahan kimiawi atau biokimiawi dari
sedimen volkaniklastik, epiklastik, atau bioklastik. Mekanisme seperti ini
dibahas oleh Hosterman (1962), Moore (1964, 1968), Keller (1968, 1981), Price
dan Duff (1969).
2.
Allochthonous Origin
Meliputi pembentukan kaolin, bauksit, atau aluminosilikat
koloid karena pelapukan di luar rawa dan tertransport ke dalam rawa atau areal
yang sesuai untuk pengemdapan akhir detritus kasar. Suatu mekanisme dari tipe
ini dibahas oleh Loughnan (1970, 1975, 1978). Menurut Ward (1978), perlapisan tipis batulempung kaolinit
yang terjadi didalam lapisan batubara atau di dalam sekuen lapisan pembawa
batubara secara luas telah digunakan sebagai lapisan penunjuk untuk korelasi
stratigrafi.
3.
Seat rock dan underclay
Batuan alas pada lapisan batubara terbentuk dari material
yang sangat bervariasi, termasuk serpih, mudstone, batugamping dan batupasir.
Lapisan ini biasanya masif tidak berlapis dan mungkin terdiri dari bekas akar
tumbuhan yang tegak terhdap perlapisan atau memperlihatkan pola yang tidak
teratur dari permukaan yang tergerus. Umumnya berwarna muda, tetapi material
yang lebih gelap berwarna abu-abu dan coklat mungkin dapat muncul.
Karena terjadi di bawah lapisan batubara dan hadirnya akar tumbuhan dalam
posisi tumbuh (relatif tegak terhadap bidang perlapisan) maka dikenal dengan
“seat earth’’ atau “underclay”. Istilah lebih umum “seat rock” digunakan oleh
Huddle dan Patterson (1961), baik untuk endapan berbutir kasar maupun halus.
Seat rock yang batuannya bervariasi dari batupasir kuarsa dan batulanau disebut
dengan “ gannister”. Di lapangan batubara (coal field) di Eropa dan Inggris
diterapkan untuk batulempung kaolin berbutir halus atau “ flint clays”.
Dibanyak tempat, gannister tersusun oleh mudstone plastic dengan kuarsa, illit,
monmorilonit, kaolinit, dan mineral lempung lain yang didapat dari studi detil
(Odom dan Perham, 1968).
Kalsit, siderit dan pirit mungkin juga hadir pada beberapa
bagian dari lapisan gannister ini.
Ketebalannya bisa bervariasi dari beberapa cm sampai 10 m, tetapi biasanya
sekitar 1 m. umumnya mempunyai kontak yang tegas dengan lapisan di atasnya,
tetapi dapat juga bergradasi secara vertikal maupun lateralmenjadi batuan lain
seperti batupasir, serpih, batugamping, dan batubara. Sebagai tambahan, tidak semua lapisan
ini ditumpangi batubara, misalnya apabila tanah peat tidak terakumulasi atau
tererosi, sehingga istilah underclays dan seat earth mungkin menyesatkan. Juga
pada batubara allochthonous, lapisan gannister tidak selalu hadir. Asal mula batuan seat yang dianggap
sebagai tanah atau substratum tempat tumbuhan tumbuh dan berkembang.
Meskipun nampaknya seperti itu, namun pada saat tanah peat
terakumulasi sampai ketebalan tertentu, akar tumbuhan dapat masuk ke dalam
debris organiknya sendiri. Atas dasar alasan tersebut, ketebalan dan
karakteristik batuan seat kurang menunjukkan adanya hubungan yang diendapkan di
atasnya.
Tumbuhnya tumbuhan juga dapat berperan sebagai sebab tidak ada perlapisan di
dalam bagian batuan serat, sementara kekompakan di sekitar struktur akar dapat
berperan sebagai sebab banyaknya permukaan yang licin.
Meskipun akumulasi lempung di perairan rawa, rupanya juga
terkumpul dan proses kompaksi material semacam ini dapat meningkatkan
berkembangnya permukaan licin. Pada banyak seat cenderung diperkaya oleh kaolin
dibandingkan dengan lutite dalam suatu sekuen. Hal ini mencerminkan proses
semacam pelindian kimiawi atau biologis yang berasosiasi dengan pertumbuhan
tumbuhan dan pembusukan tanah peat (Huddle dan patterson, 1961).
Proses pembentukan kaolin denagn persyaratan ini kemungkinan
sama dengan proses yang berasosiasi dengan batulempung kaolin murni dan proses
pembentukan kaolin di dalam batubara itu sendiri. Batubara seat berbutir halus dapat untuk bahan baku berbagai macam
produk yang berasal dari batulempung (Odom dan Parham, 1968), disebut juga
dengan “fireclays”.
Sifat batuannya yang plastis serta terdiri dari bermacam material, maka
diperlukan pemahaman yang baik bila dilakukan penambangan bawah tanah.
4.
Coal balls
Coal balls merupakan massa yang berbentuk tidak teratur
sampai bentuk spheroidal dari bahan mineral yang terjadi di dalam suatu lapisan
batubara. Umumnya terbentuk dari kalsit, dolomit, siderit, dan pirit dalam
proporsi yang bervariasi, kadang menunjukkan suatu zonasi yang bervariasi dari
beberapa cm, m sampai luas. Bila kaya pirit disebut “sulphur balls’.
Coal balls dapat sebagai sumber penelitian paleobotani lapisan batubara
(Phillips, 1979), karena sisa tumbuhan terawet dengan baik dari berbagai jenis
di dalam coal balls. Tidak adanya pengaruh kompaksi pada fragmen organik,
menunjukkan bahwa coal balls mengandung bahan mineral pada tahap awal
pembentukannya. Tentu saja, batubara yang terbentuk juga dapat memperlihatkan
bukti adanya kompaksi lipatan di sekitarnya. Sangat umum ditentukan di dalam
lapisan yang berasosiasi dengan lapisan marin, juga sebagai konkresi hadir pada
lapisan atap maupun lapisan dasar.
http://www.4shared.com/office/CYIvCu2Uce/Kenampakan_Geologi_Lapisan_Bat.html
No comments:
Post a Comment