Friday, November 13, 2015

GEOLOGI LAPISAN BATUBARA

KENAMPAKAN GEOLOGI LAPISAN BATUBARA


Perkembangan kenampakan geologi di sekitar lapisan batubara disebabkan oleh proses-proses yang terjadi pada lapisan gambut, sifat fisika dan kimia lapisan batubara itu sendiri serta material bukan batubara yang berbeda-beda. Macam-macam kenampakan geologi pada lapisan batubara, antara lain :

1.       Plies, bands dan partings
Lapisan batubara bisa terdiri dari batubara dengan tipe berbeda, atau terdiri dari material bukan batubara yang beraneka ragam. Kehadiran lapisan batubara ini dapat digunakan untuk membagi lapisan batubara kedalam satuan yang lebih kecil disebut “ benches, atau plies”.


Lapisan bukan batubara disebut ”bands”, atau “partings”. Istilah seperti “clay bands” atau dirt bands” kadang digunakan untuk menggambarkan material dari suatu litologi. Ada juga istilah “penny bands” untuk mengindikasikan ketebalan.



Litologi dari beberapa bands menurut istilah Jerman disebut tonstein (secara kepustakaan disebut claystone) atau istilah Amerika disebut “flint clay” paling umum digunakan dimana material memiliki tekstur peletoidal atau menunjukkan pecahan konkoidal dan didominasi oleh mineral kaolin yang mengkristal dengan baik. Penegertian parting digunakan di lapangan geologi batubara menjadi 2 macam :

1.       Sebagai sinonim band, yaitu lapisan bukan batubara yang memisahkan lapisan batubara yang satu dengan yang lain secara relatif.
2.       Untuk menjelaskan bidang sejajar sepanjang satu lapisan, baik itu lapisan batubara atau lapisan bukan batubara secara fisik dengan mudah.

Perbedaan pengertian ini penting dijelaskan dalam kegiatan persiapan penambangan seperti adanya lapisan batubara yang bercabang akan mempengaruhi penggalian atau penambangannya. Istilah “plane of parting” mungkin cocok untuk menggambarkan suatu bidang yang tidak menerus akibat gangguan sesar atau splitting.


“Bands” merupakan lapisan yang terdiri dari material yang bukan batubara, terjadi karena suplai akumulasi sedimen klastik telah melebihi akumulasi gambut. Sedimen klastik ini mungkin menunjukkan endapan over bank atau dataran banjir yang berasal dari sungai yang terdekat atau dari debu vulkanik yang berasal dari sumber di luar lingkungan rawa. Ini mungkin juga dibentuk oleh mineral residu gambut yang teroksidasi, seperti yang terjadi akibat pengeringan rawa selama waktu terbentuknya batubara.



“Plies” merupakan kumpulan dari maseral yang berbeda atau berasal dari bermacam sifat dasar tumbuhan rawa atau lingkungan pengendapannya selama pembentukan batubara. Plies atau bands bukan batubara tidak selalu membentuk lapisan yang seragam dan tetap, khususnya jika mencakup daerah yang luas.





Penentuan pola ply yang baik dapat memberikan keuntungan yang besar dalam menjelaskan arah kualitas batubara di dalam operasi penambangan. Tentunya membutuhkan sejumlah besar data bawah permukaan atau data bor, data petrografi batubara yang dapat untuk menunjang sejumlah analisis “ply by ply”.

2.       Splits dalam lapisan batubara
Kemenerusan lateral lapisan batubara di lapangan sering terbelah pada jarak yang relatif dekat oleh sedimen bukan batubara yang membaji kemudian membentuk dua lapisan batubara yang terpisah dan disebut autosedimentational split. Macam-macam bentuk spilt :
a.       Simple splitting, adalah split sederhana yang terjadi akibat kehadiran tubuh lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.
b.       Proggresif splitting, bila terdiri dari beberapa lensa, maka splitting dapat berkembang secara terus menerus.
c.       Zig zag splitting, terjadi pada suatu lapisan batubara yang terbelah dan kemudian bergabung dengan lapisan batubara lain.

Split sangat penting dalam geologi batubara. Pemahaman yang baik tentang split dapat membantu dalam penentuan sebaran lapisan batubara yang ekonomis, dan perhitungan cadangan. Bentuk split dengan kemiringan 45o yang disertai oleh perubahan kekompakan pada batuan akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap dalam penambangan bawah tanah.

3.       Washout dan roof rolls
Washout” merupakan tubuh lentikuler sedimen, biasanya batupasir, yang menonjol ke bawah dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara yang ada. Umumnya memanjang atau berbelok-belok, dan menggambarkan struktur scour and fill dibentuk oleh aktivitas channel berasosiasi dengan akumulasi gambut.


Ukuran washout bervariasi baik tebal maupun pelamparannya. Washout mungkin dengan luas yang kecil, channel yang tidak beraturan pada atap lapisan, biasanya disebut roof rolls sebagai akibat palechannel utama. Sebagian besar struktur washout diisi oleh batupasir, meskipun kerikil batubara atau konglomeratt kerikilan dapat juga hadir. Hal ini mencerminkan meander cut off dan paleochannel.



Washout dan roof rolls merupakan masalah utama dalam operasi penambangan. Ketebalan lapisan dan ketidakmenerusan lapisan batubara akibat terisi channel, sehingga itu tentu memerlukan kebijaksanaan. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan untuk menggali batubara sering menemui kesulitan untuk menembus material bukan batubara yang telah menggantikan posisi lapisan batubara, terutama pada tambang bawah tanah. Struktur washout merupakan bagian mendasar dalam penelitian geologi untuk kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.


4.       Floor rolls
Floor roll terdiri dari material batuan yang berupa punggungan, panjang, sempit, dan subparalel, yang menonjol kedalam lapisan batubara dari dasar lapisan. Seperti halnya roof rolls, floor roll akan mangakibatkan ketebalan lapisan batubara berkurang. Floor roll sering diterangkan sebagai intrusi lapisan ke dalam lapisan lain akibat pengembangan hidrasi and aktivitas tektonik. Menurut Diessel dan Moelle (1970), roof roll dibentuk oleh kegiatan sungai selama tahap awal akumulasi tanah gambut.

5.       Clastic dyke dan Injection Structures
Clastic dyke” merupakan tubuh membaji atau melembar dari material sedimentasi yang memotong melintang lapisan batubara. Pada umumnya menunjukkan pengisian retakan-retakan dalam gambut atau batubara oleh endapan sedimen diatasnya. Retakan ini dapat berhubungan dengan kekar atau pergerakan sesar minor dan hal ini dapat menambah masalah tentang kestabilan lapisan atap di dalam operasi penambangan bawah tanah (Ellenberger, 1979; Krause et al 1979).

Meskipun kebanyakan struktur ini menyerupai endapan roof roll, tampak beberapa pembebanan yang tidak menerus dari tanah gambut lunak oleh material pasir. Lapisan-lapisan batubara melengkung akibat pembebanan, sementara material pengisi yang biasanya terlipat dan terubah bentuknya (Nelson, 1979 dalam Ward, 1984). Struktur ini umumnya menyertai sesar-sesar, dan kekar-kekar, serta struktur ini pun menyebabkan ketidakstabilan pada penambangan bawah tanah.

6.       Cleat
Pengkekaran dalam batubara, khususnya batubara bituminous, umumnya menunjukkan pola cleat. Hal ini ditunjukkan oleh serangkaian retakan yang sejajar, biasanya berorientasi tegak lurus perlapisan. Satu rangkaian retakan disebut “ face cleat”, biasanya dominan dengan bidang individu yang lurus dan kokoh sepanjang beberapa meter.

Pola lainnya yang disebut “ butt cleat” , retakannya lebih pendek, sering melengkung dan cenderung berakhir pada bidang face cleat.jarak antar bidang cleat bervariasi dari 1 mm sampai sekitar 30 cm. Bidang cleat sering diisi oleh unsur mineral atau karbonat, lempung, jenis sulfida, atau sulfat dapat secara umum nampak pada permukaan batubara yang mengelupas.


Orientasi face cleat merupakan salah satu faktor penting di dalam pengontrolan perencanaan penambangan bawah tanah. Demikian juga untuk operasi penambangan yang menggunakan alat bajak atau hidrolik, maka arah penbambangan dan hubungannya dengan pola cleat sangat mempengaruhi dalam kemudahan penggalian batubara.



Jarak cleat juga berpengaruh terhadap ukuran partikel batubara yang dihasilkan, apakah berupa fine coal atau lumpy coal. Hal ini penting dalam perencanaan tambang karena berkait dengan aspek penumpukan, pengangkutan, pemanfaatan, harga dan pemasaran. Pola cleat dapat juga dhubungkan dengan terjadinya ledakan gas dalam tambang bawah tanah.



Terjadinya cleat pada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan pembawa batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pula cleat dengan struktur geologi suatu daerah. Face cleat tampaknya sangat umum sebagai hasil dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan paleostress kompresif maksimum suatu daerah ( Nickelsen & Hough 1967; Hanes & Shepherd 1981),  meskipun melibatkan faktor lain seperti gangguan shear, tetapi dikatakan juga bahwa pembentukan butt cleat kurang jelas, mungkin berkaitan dengan sejarah pembentukan batubara dan proses pengendapan dari lapisan-lapisan yang bersangkutan.

Intrusi batuan beku pada lapisan batubara


Karena material organik dalam batubara mengalami perubahan mendasar apabila dipanaskan, adanya intrusi batuan beku memiliki pengaruh yang besar pada lapisan batubara daripada yang dialami oleh batuan bukan batubara. Batubara yang dekat dengan tubuh intrusi batuan beku, secara lokal meningkat derajatnya sehubungan dengan meningkatan panas yang menyertainya. Intrusi batuan beku biasanya berkembang menjadi komplek, dimana pada titik pertemuan antara tubuh intrusi dengan lapisan batubara membentuk kontak yang meliuk. Hal ini berhubungan dengan perilaku plastik dari bahan organik karena pemanasan serta berkurangnya kandungan air didalam batubara.



Cinder coal” (batubara terarangkan) akibat intrusi, biasanya lemah, massanya porous dengan pola belahan hexagonal. Dalam banyak hal cinder coal kurang mempunyai nilai ekonomi, dengan demikian cinder menunjukkan hilangnya sebagian lapisan batubara yang dapat ditambang. Dari sudut peningkatan derajat batuabara, mungkin lebih menguntungkan dari segi ekonomi jika pengaruh cinder coal tidak terbentuk.


7.       Batuan yang biasanya berasosiasi dengan lapisan batubara
Batuan yang sering ditemukan di dalam atau dekat dengan lapisan batubara adalah batuan sedimen klastika halus seperti batulempung, batulanau, serpih dan batupasir. Juga kaolin seperti “flint clay” dan “underclay” material siliceous seperti chert dan gannister serta endapan ferrigenous seperti mudstone siderit dan clay ironstone termasuk yang berasosiasi dengan batubara. Beberapa material di atas hanya diminati secara akademik, tetapi sekarang mulai diperhatikan karena mempunyai arti industri, seperti underclay.

Struktur sedimen sangat membantu didalam interpretasi lingkungan pengendapan dan yang banyak dijumpai berasosiasi dengan lapisan batubara adalah perlapisan silangsiur, laminasi sejajar, laminasi bergelombang, laminasi karbonan (carbonaceous laminae), coal strings, konkresi, dan cetak beban.



8.       Batulempung kaolinit
Istilah batulempung kaolinit digunakan oleh Loughnan (1978) untuk menggambarkan sebuah individu khusus dari batuan sedimen masif yang terbentuk dari mineral lempung kaolin. Tekstur batuan ini bervariasi, berikut ini adalah tekstur pokok dalam batulempung kaolinit :
1.       Breksiasi, materialnya terbentuk dari clast-clast batulempung angular penecontemporaneous, dapat mencapai diameter sampai beberapa cm.
2.       Pelletal, batuannya terbentuk dari partikel-partikel batulempung yang bulat atau agrerat lempung, berukuran silt (kadang disebut graupen) sampai partikel spheroidal yang berdiameter 10 mm atau lebih.
3.       Oolitik, terdiri dari oolitik spheroidal yang terlapisi secara konsentris oleh material yang kaya kaolin.
4.       Masif, merupakan mudstone yang berkembang dengan baik, terisi oleh kumpulan kristal kaolin yang ventikular dalam bagian yang tipis.

Batuan ini disebut juga “flint clay” (Keller, 1967) dan “tonstein (Moore, 1964). Kaolin merupakan mineral yang melimpah dalam batuan ini, biasanya terjadi dalam bentuk kristal dan berasosiasi dengan sejumlah kecil kuarsa, siderit atau illit.

Variasi batuannya berwarna putih sampai coklat keabu-abuan atau hitam tergantung dari bahan karbonan dan material ferrugenous yang mungkin ada. Hal ini kadang digambarkan sebagai tuf.

Asal usul batulempung kaolinit telah lama menjadi topik yang kontroversial dalam literatur ilmiah. Tinjauan komprehensif tentang terjadinya material secara petrografi dan geokimia diberiakan oleh Keller (1968, 1981) dan Loughnan (1978). Secara mekanik dijelaskan mengenai kekhususan mineral dan ciri-ciri teksturnya dibandingkan dengan sedimen lain dalam sekuen dimana batuan tersebut terbentuk, dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu :

1.       Autochthonous Origin
Meliputi pembentukan insitu dari kaolin dalam rawa batubara atau lingkungan lain yang serupa karena perubahan kimiawi atau biokimiawi dari sedimen volkaniklastik, epiklastik, atau bioklastik. Mekanisme seperti ini dibahas oleh Hosterman (1962), Moore (1964, 1968), Keller (1968, 1981), Price dan Duff (1969).

2.       Allochthonous Origin
Meliputi pembentukan kaolin, bauksit, atau aluminosilikat koloid karena pelapukan di luar rawa dan tertransport ke dalam rawa atau areal yang sesuai untuk pengemdapan akhir detritus kasar. Suatu mekanisme dari tipe ini dibahas oleh Loughnan (1970, 1975, 1978). Menurut Ward (1978), perlapisan tipis batulempung kaolinit yang terjadi didalam lapisan batubara atau di dalam sekuen lapisan pembawa batubara secara luas telah digunakan sebagai lapisan penunjuk untuk korelasi stratigrafi.

3.       Seat rock dan underclay
Batuan alas pada lapisan batubara terbentuk dari material yang sangat bervariasi, termasuk serpih, mudstone, batugamping dan batupasir. Lapisan ini biasanya masif tidak berlapis dan mungkin terdiri dari bekas akar tumbuhan yang tegak terhdap perlapisan atau memperlihatkan pola yang tidak teratur dari permukaan yang tergerus. Umumnya berwarna muda, tetapi material yang lebih gelap berwarna abu-abu dan coklat mungkin dapat muncul.


Karena terjadi di bawah lapisan batubara dan hadirnya akar tumbuhan dalam posisi tumbuh (relatif tegak terhadap bidang perlapisan) maka dikenal dengan “seat earth’’ atau “underclay”. Istilah lebih umum “seat rock” digunakan oleh Huddle dan Patterson (1961), baik untuk endapan berbutir kasar maupun halus.



Seat rock yang batuannya bervariasi dari batupasir kuarsa dan batulanau disebut dengan “ gannister”. Di lapangan batubara (coal field) di Eropa dan Inggris diterapkan untuk batulempung kaolin berbutir halus atau “ flint clays”. Dibanyak tempat, gannister tersusun oleh mudstone plastic dengan kuarsa, illit, monmorilonit, kaolinit, dan mineral lempung lain yang didapat dari studi detil (Odom dan Perham, 1968).


Kalsit, siderit dan pirit mungkin juga hadir pada beberapa bagian dari lapisan gannister ini.

Ketebalannya bisa bervariasi dari beberapa cm sampai 10 m, tetapi biasanya sekitar 1 m. umumnya mempunyai kontak yang tegas dengan lapisan di atasnya, tetapi dapat juga bergradasi secara vertikal maupun lateralmenjadi batuan lain seperti batupasir, serpih, batugamping, dan batubara. Sebagai tambahan, tidak semua lapisan ini ditumpangi batubara, misalnya apabila tanah peat tidak terakumulasi atau tererosi, sehingga istilah underclays dan seat earth mungkin menyesatkan. Juga pada batubara allochthonous, lapisan gannister tidak selalu hadir. Asal mula batuan seat yang dianggap sebagai tanah atau substratum tempat tumbuhan tumbuh dan berkembang.


Meskipun nampaknya seperti itu, namun pada saat tanah peat terakumulasi sampai ketebalan tertentu, akar tumbuhan dapat masuk ke dalam debris organiknya sendiri. Atas dasar alasan tersebut, ketebalan dan karakteristik batuan seat kurang menunjukkan adanya hubungan yang diendapkan di atasnya.

Tumbuhnya tumbuhan juga dapat berperan sebagai sebab tidak ada perlapisan di dalam bagian batuan serat, sementara kekompakan di sekitar struktur akar dapat berperan sebagai sebab banyaknya permukaan yang licin.


Meskipun akumulasi lempung di perairan rawa, rupanya juga terkumpul dan proses kompaksi material semacam ini dapat meningkatkan berkembangnya permukaan licin. Pada banyak seat cenderung diperkaya oleh kaolin dibandingkan dengan lutite dalam suatu sekuen. Hal ini mencerminkan proses semacam pelindian kimiawi atau biologis yang berasosiasi dengan pertumbuhan tumbuhan dan pembusukan tanah peat (Huddle dan patterson, 1961).

Proses pembentukan kaolin denagn persyaratan ini kemungkinan sama dengan proses yang berasosiasi dengan batulempung kaolin murni dan proses pembentukan kaolin di dalam batubara itu sendiri. Batubara seat berbutir halus dapat untuk bahan baku berbagai macam produk yang berasal dari batulempung (Odom dan Parham, 1968), disebut juga dengan “fireclays”.

Sifat batuannya yang plastis serta terdiri dari bermacam material, maka diperlukan pemahaman yang baik bila dilakukan penambangan bawah tanah.


4.       Coal balls
Coal balls merupakan massa yang berbentuk tidak teratur sampai bentuk spheroidal dari bahan mineral yang terjadi di dalam suatu lapisan batubara. Umumnya terbentuk dari kalsit, dolomit, siderit, dan pirit dalam proporsi yang bervariasi, kadang menunjukkan suatu zonasi yang bervariasi dari beberapa cm, m sampai luas. Bila kaya pirit disebut “sulphur balls’.


Coal balls dapat sebagai sumber penelitian paleobotani lapisan batubara (Phillips, 1979), karena sisa tumbuhan terawet dengan baik dari berbagai jenis di dalam coal balls. Tidak adanya pengaruh kompaksi pada fragmen organik, menunjukkan bahwa coal balls mengandung bahan mineral pada tahap awal pembentukannya. Tentu saja, batubara yang terbentuk juga dapat memperlihatkan bukti adanya kompaksi lipatan di sekitarnya. Sangat umum ditentukan di dalam lapisan yang berasosiasi dengan lapisan marin, juga sebagai konkresi hadir pada lapisan atap maupun lapisan dasar.


http://www.4shared.com/office/CYIvCu2Uce/Kenampakan_Geologi_Lapisan_Bat.html

No comments:

Post a Comment